JAKARTA: Upaya untuk melakukan penetrasi ke pasar ekspor baru masih perlu perbaikan strategi, baik dari sisi pengusaha maupun pemerintah.
Ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam menyebutkan setidaknya empat hal yang membuat diversifikasi pasar ekspor ke negara berkembang belum mampu mengompensasi penurunan ekspor ke negara maju.
Pertama, eksportir belum cukup memahami aturan perdagangan yang ada di negara tujuan baru, misalkan menyangkut bea masuk. Kalaupun akhirnya mengekspor, volumenya kecil karena masih bersifat coba-coba (trial and error).
“Di sini pentingnya pemerintah memberikan informasi kepada eksportir kita mengenai peraturan-peraturan perdagangan yang diadopsi oleh negara yang menjadi tujuan ekspor baru,” katanya, Rabu (6/2).
Kedua, lanjutnya, persaingan dengan produk-produk asal negara lain, misalnya produk tekstil dan alas kaki asal China yang lebih dulu menguasai pasar Amerika Latin.
Latif menyarankan agar pengusaha Indonesia menawarkan produk yang lebih berdaya saing dibanding China, misalnya denim, meskipun butuh waktu untuk merebut pasar.
Ketiga, pendekatan penetrasi ekspor masih sporadis dan tidak kontinyu. Menurutnya, misi dagang dan pameran memang dilakukan, tetapi minim tindak lanjut sehingga produk Indonesia masih jarang dikenal.
Latif berpendapat atase perdagangan RI di negara bersangkutan semestinya menindaklanjuti setiap misi dagang yang dilakukan untuk memperkuat branding produk Indonesia.
“Ada kesan atase perdagangan belum terlibat secara optimal. Boleh jadi mereka tidak tahu produk yang jadi prioritas untuk masuk ke negara berkembang,” ujarnya .
Keempat, pemerintah belum menentukan prioritas negara berkembang mana saja yang akan dibidik. Menurutnya, perlu ada penetapan satu negara sebagai entry port untuk masuk ke negara lain di suatu kawasan.
Dia memberi contoh, pemerintah perlu memprioritaskan kerjasama perdagangan dengan Afrika Selatan untuk masuk ke negara lain di kawasan Afrika Barat. Pemerintah juga perlu lebih dulu menggarap Brasil sebelum masuk ke negara lain di kawasan Amerika Latin.
“Boleh jadi kapasitas menyerap di negara-negara kecil. Makanya, kita harus pandai, seperti Eropa yang memilih Singapura sebagai penghubung di negara-negara Asia Tenggara,” ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani berpendapat pelaku usaha di Tanah Air belum sepenuhnya mengetahui karakteristik produk yang dibutuhkan oleh negara berkembang sehingga masih mengandalkan negara yang selama ini menjadi pasar tradisional.
“Misal pasar di Timur Tengah. Potensinya besar, tapi belum digarap. Begitu mau menggarap, kita harus tahu karakteristik mereka sehingga harus ada perubahan untuk memenuhi persyaratan produk. Pengusaha kita belum mengarah ke sana,” katanya.
Produk jadi Indonesia juga belum memiliki brand yang cukup dikenal di pasar internasional sehingga promosi yang dilakukan belum tentu mudah menuai hasil. (bas)
sumber : http://archive.bisnis.com
oleh : Sri Mas Sari
Rabu, 06 Februari 2013 | 15:13 WIB
Ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam menyebutkan setidaknya empat hal yang membuat diversifikasi pasar ekspor ke negara berkembang belum mampu mengompensasi penurunan ekspor ke negara maju.
Pertama, eksportir belum cukup memahami aturan perdagangan yang ada di negara tujuan baru, misalkan menyangkut bea masuk. Kalaupun akhirnya mengekspor, volumenya kecil karena masih bersifat coba-coba (trial and error).
“Di sini pentingnya pemerintah memberikan informasi kepada eksportir kita mengenai peraturan-peraturan perdagangan yang diadopsi oleh negara yang menjadi tujuan ekspor baru,” katanya, Rabu (6/2).
Kedua, lanjutnya, persaingan dengan produk-produk asal negara lain, misalnya produk tekstil dan alas kaki asal China yang lebih dulu menguasai pasar Amerika Latin.
Latif menyarankan agar pengusaha Indonesia menawarkan produk yang lebih berdaya saing dibanding China, misalnya denim, meskipun butuh waktu untuk merebut pasar.
Ketiga, pendekatan penetrasi ekspor masih sporadis dan tidak kontinyu. Menurutnya, misi dagang dan pameran memang dilakukan, tetapi minim tindak lanjut sehingga produk Indonesia masih jarang dikenal.
Latif berpendapat atase perdagangan RI di negara bersangkutan semestinya menindaklanjuti setiap misi dagang yang dilakukan untuk memperkuat branding produk Indonesia.
“Ada kesan atase perdagangan belum terlibat secara optimal. Boleh jadi mereka tidak tahu produk yang jadi prioritas untuk masuk ke negara berkembang,” ujarnya .
Keempat, pemerintah belum menentukan prioritas negara berkembang mana saja yang akan dibidik. Menurutnya, perlu ada penetapan satu negara sebagai entry port untuk masuk ke negara lain di suatu kawasan.
Dia memberi contoh, pemerintah perlu memprioritaskan kerjasama perdagangan dengan Afrika Selatan untuk masuk ke negara lain di kawasan Afrika Barat. Pemerintah juga perlu lebih dulu menggarap Brasil sebelum masuk ke negara lain di kawasan Amerika Latin.
“Boleh jadi kapasitas menyerap di negara-negara kecil. Makanya, kita harus pandai, seperti Eropa yang memilih Singapura sebagai penghubung di negara-negara Asia Tenggara,” ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani berpendapat pelaku usaha di Tanah Air belum sepenuhnya mengetahui karakteristik produk yang dibutuhkan oleh negara berkembang sehingga masih mengandalkan negara yang selama ini menjadi pasar tradisional.
“Misal pasar di Timur Tengah. Potensinya besar, tapi belum digarap. Begitu mau menggarap, kita harus tahu karakteristik mereka sehingga harus ada perubahan untuk memenuhi persyaratan produk. Pengusaha kita belum mengarah ke sana,” katanya.
Produk jadi Indonesia juga belum memiliki brand yang cukup dikenal di pasar internasional sehingga promosi yang dilakukan belum tentu mudah menuai hasil. (bas)
sumber : http://archive.bisnis.com
oleh : Sri Mas Sari
Rabu, 06 Februari 2013 | 15:13 WIB